Dari Arkan untuk Aira prt.1

1.

Aira rasaku padamu, akan selalu setia sampai pada akhirannya.


“Ra! Sini cepetan!”

Langkahku terseok-seok medatangi wanita paruh baya dengan wajah ber make-up. Susah sekali berjalan dengan selembar kain jarik membalut kakiku sebagai bawahan.

Sementara sebelah tanganku sibuk memegangi tabung wisuda, dan lainnya lagi menyingkap sedikit kain jarikku ke atas. Aku mengambil langkah cepat. Biar saja terlihat seperti urakan, aku tidak peduli.

“Foto bersama, ya!” wanita itu, ibuku. Beliau sudah heboh sendiri.

Aku hanya merapatkan tubuh idealku di samping ayah dan ibu. Memasang senyum bahagia yang wajar. Dan, cekrek! Besok aku punya hutang pada tukang foto itu untuk meminta hasil jepretannya.

“Sudah, mau pulang sekarang?”

Bibirku melipat ke dalam, berpikir. Aku belum merayakan wisuda SMA bersama dia.

Kepalaku menggeleng menolak, “Mau mampir dulu.” Jawabku dihadiahi kerutan dalam di kening ibu. Aku tahu, beliau tahu apa maksudku. Lalu dia mengangguk kecil berkali-kali.

“Ya sudah. Ibu dan ayah pulang sekarang. Jangan memaksa, ajak Julian..”

Aku mengangguk mengiyakan. Ah, Julian..

Ibuku menjauh bersama ayah. Berjalan ke arah mobil sedan silver mereka. Aku melambai, kosong. Karena ibu sudah membelakangiku. Tuhan memang adil, memberikanku seorang ibu yang begitu mengerti dan menyayangiku. Sampai pada titik ini.

Menghela napasku dalam. Aku kembali berbalik dan berjalan ke dalam sekolah lagi demi mencari Julian. Sahabatku satu-satunya yang berjenis lelaki. Menoleh sana-sini mencari sosoknya.

Julian.. Aku menemukannya. Lelaki berbadan tegap dengan kacamata bertengger di hidungnya dengan manis sedang berdiri di samping bak sampah. Hidungku mengerut, kebiasaanku ketika melihat sesuatu yang tidak kusukai.

Dia sedang mengamati teman-teman kami lainnya yang tengah foto bersama. Julian sendiri mengalungkan sebuah kamera polaroid kesayangannya, tetapi sahabatku itu hanya diam menonton tanpa ada niat untuk mem-foto. Hm, untuk apa membawa kamera kalau hanya di anggurkan.

Aku sudah dekat. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Biasanya, aroma parfumku selalu di kenalnya. Baru berjarak 2 meter saja kedua lubang hidung Julian mampu menangkap sensor aroma parfumku.

Aneh. Telunjukku mencolek lengannya sedikit keras. Julian menoleh, kaget menatapku yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya.

“Apa?” katanya.

“Mau mampir?”

Julian berpikir sebentar. Telunjuknya mendorong tengah frame kacamata miliknya ke atas.

“Boleh.”

Senyumku melebar. Apapun kulakukan bersama Julian. Tertawa bersama Julian. Menangis bersama Julian. Dan sekarang, kami akan melakukan keduanya bersama-sama lagi. Saat kami mampir nanti.
***

Dalam perjalanan kami berdua diam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Julian wisuda tidak di temani oleh orangtuanya, mungkin itu yang menjadi kesedihannya hari ini.

Sedangkan aku.. aku sedih, sedih selama dua tahun terakhir ini karena dia. Sampai aku terbiasa dengan rasa ini. Sama seperti Julian yang terbiasa dengan rasa sedihnya sepeninggal kedua orangtua.

Mobil kami melambat, rupanya kami sudah sampai. Julian masih menahan lock door. Ini sudah kebiasaan. Kami sama-sama menghilangkan getaran gugup masing-masing. Meskipun sudah 2 tahun lamanya ini berlalu, kami masih saja gugup.

Julian membuka lock door. Rasa gugupnya sudah hilang. Dia turun begitu juga aku. Kami memasuki pelataran depannya dan berjalan pada setapak yang sudah ku hapal dengan betul selama dua tahun terakhir.

Sejauh mata memandang, hijau dan luas.

Julian berhenti di depanku, berjongkok di depan gundukan tanah yang berbentuk persegi panjang. Aku ikut mengambil posisi yang sama dengan Julian. Di ujung gundukan tertanam batu bertuliskan Ny. Aima Hardiyanti.

Julian menunduk, dia tidak pernah memperlihatkan sisi lemahnya pada siapapun. Bahkan kepadaku tidak. Saat kami mampir, saat Julian menangis, dia selalu menunduk. Meredam suara tangisnya, dan kembali menegakkan badan dengan mata yang terlihat sedikit sembab namun kering. Tidak ada sisa air mata.

Aku hanya diam. Sama sekali tidak berniat untuk memberi dukungan pada Julian. Dia benci itu.

Jadi aku hanya berjongkok dan menatap nisan ibu Julian dengan perasaan campur aduk. Ingin kulantangkan pada beliau bahwa kami sudah wisuda, bahwa Julian lulus!

Sementara ayah Julian, dia tidak di makamkan disini. Beliau ada di tanah pemakaman daerah kelahirannya. Yang berbeda pulau dengan kami.

“Geser, Yi.” Julian sudah selesai. Matanya nampak sembab sedikit seperti biasanya.

Aku sebal dengan panggilan Julian padaku. Ayi. Diambil dari Aira = Ayira = Ayi. Sedangkan di keluarga besarku, Ayi itu panggilan untuk nenek. Nyai = Yayi = Ayi. Dan Julian tahu itu namun tetap saja memanggilku dengan Ayi.

Itu namanya panggilan kesayangan. Dulunya bilang begitu.

Aku bergeser. Kembali berjongkok. Di nisan tertulis nama dia. Tn. Arkan Adhibta. Kekasihku dua tahun yang lalu. Lelaki yang menjadi twin sibling dari Julian.

Entah bagaimana, aku tidak lagi merasa gugup atau ingin menangis. Aku sudah merelakannya dengan segala upaya yang kumiliki selama dua tahun terakhir ini. Kekasih terhebatku.

“Nggak nangis, Yi?” pertanyaan macam apa ini.

“Kasihan Arkan nggak akan tenang di sana.”

“Aku nangis, Yi.” Aku menoleh ke arah Julian. Tidak, dia tidak menangis.

“Tadi.” Lanjutnya.

Kutaruh sebuket bunga yang sedari tadi kubawa ke atas gundukan tanah makam Arkan. Buket bunga kelulusanku. Arkan, aku lulus.. aku berhasil sampai sejauh ini, meskipun tanpa kamu. Kamu harus bangga padaku.

Aku berdiri. Julian nampak bingung melihatku berdiri. Secepat itu aku mampir menemui Arkan. Ya, secepat ini karena aku sudah merelakannya. Arkan-ku, kekasih terhebatku, tenang dan damailah dengan sejuta do’a yang selalu kami panjatkan untukmu.
***


Sudah wisuda, kurang apa lagi aku sekarang. Aku juga sudah diterima di perguruan tinggi yang sama dengan Julian melalui jalur SNMPTN. Hari ini tidak ada yang kulakukan. Aku ingin bersantai. Melepaskan segala pikiran beratku yang kemarin-kemarin hanya terisi oleh Arkan seorang.

Sejak pukul 6 pagi tadi, ibu mencoba masuk kamarku namun tidak bisa karena aku menguncinya. Dia ingin membangunkanku, kebiasaan sehari-hari. Tapi, apa yang akan kulakukan saat bangun pukul 6 tepat tadi? Tidak ada, jadi sudah kurencanakan sejak tadi malam untuk tetap mengunci kamarku sampai aku bangun entah jam berapa.

Bibirku tersenyum meskipun kedua mataku masih tertutup rapat. Apakah sebahagia ini saat seseorang sudah berdamai dengan masalalunya? Dengan masa kelamnya? Kurasa begitu.

“Aira bangun! Ku dobrak atau bangun?!”

Julian.. geramku dalam setengah sadar.

“Dobrak saja kalau bisa.” Kataku lebih kepada diriku sendiri dengan senyumku yang masih belum hilang. Kutarik selimutku dan kembali bergelung di dalamnya.

Aku sudah memikirkan ini semua. Aku sudah bilang. Aku tahu saat ibuku tidak berhasil masuk ke kamar, Julian pasti akan menggantikan tugas ibuku. Jadi aku sudah menggeser meja belajarku yang ada di samping pintu, menjadi tepat di depan pintu. Dobrak saja kalau bisa.

“Ayi!”

Berisik.

“Bangun, Ayi. Kamu ini perempuan apa lelaki?” handle pintu bergerak-gerak. Sepertinya Julian mulai kesal. Gedorannya juga bertambah keras.

Dok! Dok! Dok!

“Ayi kubilang bangun!!”

Teriak saja sepuasmu.

Lalu hening, tidak terdengar lagi suara Julian yang berteriak dan gedoran brutalnya pada pintuku. Mataku membuka dan sedikit kusingkap selimut tebal yang menutupi tubuhku. Julian pergi?

Grekk!!

Aku terkejut bukan main. Refleks tanganku menutup tubuhku dengan selimut.

“Juli?!!” teriakku tak habis pikir dengan kelakuannya.

Julian berhasil masuk melewati jendela kamarku yang memang tidak pernah terkunci dan sama sekali tidak di beri teralis besi. Aku kesal bukan main. Aku akan usul pada ayah untuk membenahi jendelaku nanti.

“Bangun.”

Kedua bola mataku memutar jengah. Arkan, tolong aku dengan segala kelakuan aneh kembaranmu ini. “Mau apa kamu? Ini masih pagi buta.”

Julian berjalan mendekati meja belajarku dan menggesernya ke tampat semula. Lalu ia membuka kunci kamarku. “Pagi buta katamu? Kukira Pak Santoso salah sudah mengalungi samir padamu kemarin.”

“Ambil aja samirnya, kembalikan ke sekolah.” Aku kembali berbaring, menutup seluruh tubuhku kembali dengan selimut.

Tidak sampai lama aku bisa kembali berbaring karena tiba-tiba saja kakiku di tarik oleh makhluk astral bernama Julian. “Sudah virgin juga nggak pernah bisa bangun pagi. Malu-maluin tetangga. Ini juga apa kamar mirip kapal pecah nggak ada rapih-rapihnya sama sekali...” dan bla-bla-bla.

Aku malas mendengarkan ocehan Julian yang selalu tidak ada habisnya. Mimpi apa aku semalam?

Aku turun dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi. Menutup pintunya rapat-rapat. Kutatap bayangku pada cermin sambil menghela napas pelan, dari kamar mandi saja masih terdengar ocehan Julian yang bisa kupastikan sudah mulai merapikan kamarku.

Aku, Aira Ramadanty. Gadis berkelahiran Yogyakarta berumur 18 tahun kurang tiga bulan tahun ini. Memiliki ciri fisik kantung mata tipis yang selalu setia menggantung di bawah kedua mataku. Berhidung mancung menurut teman-temanku. Berwajah oriental dan berambut hitam panjang sebahu. Tidak memiliki tahi lalat namun memiliki satu lesung pipit di sebelah kanan, hanya satu di sebelah kanan.

Cukup, aku berbalik memunggungi cermin. Bersandar pada wastafel, setelah mandi aku harus apa?

Dan jadwal hari ini segera kususun saat itu juga setelah menyalakan keran air. Today with Julian. We’ll spend the time together till we’ll  getting bored. Hanya itu yang selalu aku rapalkan selama ini. Selama aku bersama Julian. Dan anehnya, rasa bosan itu tidak pernah ada.
***


Keluar dari kamar mandi aku sudah tidak mendapati Julian lagi. Kamarku sudah rapih dan wangi. Julian selalu membersihkan kamarku. Aku jadi sedikit berdosa jika memikirkan persamaan tentang Julian dengan Bi Sum tukang bersih-bersih rumahku. Yang pasti, Julian memiliki jabatan tinggi sebagai sahabat setiaku.

Ngomong-ngomong, bagaimana bisa Julian datang ke rumahku setiap hari. Itu karena rumah kami bersebelahan. Sejak kecil kami, Arkan-aku-Julian selalu bermain bersama. Aku anak tunggal di keluargaku sedangkan Julian dan Arkan adalah kembaran.

Mereka kembar identik. Wajah mirip kebiasaan mirip. Hanya saja, Arkan lebih ekspresif sedangkan Julian tidak.

Aku segera keluar dari kamarku, mataku melirik ke arah jam dinding besar yang menggantung di dinding samping foto keluarga. Pukul 10 pagi. Pagi atau siang? Aku mengibaskan tanganku di udara, masa bodoh.

Rumah yang kutinggali hanya memiliki satu lantai. Jadi tidak ada tangga di mana-mana. Itu juga membuat Julian bisa dengan mudah masuk ke dalam kamarku melalui jendela. Aku kembali kesal dengan kelakuan anarki Julian tadi.

“Baru bangun, Ra?” ayah menyapaku dari balik korannya. Koran pagi ayah.

“Hmm. Ibu mana?”

“Di dapur sama Julian.” Aku meninggalkan ayah dan beranjak ke dapur. Benar, ibu di dapur dengan Julian.

Julian sedang menikmati sarapan paginya yang hanya nasi putih. Tangan kanan memegang sendok, tangan kiri memegang ponsel. Itu sudah kebiasaan sejak dia punya ponsel. Dan kenapa Julian hanya sarapan nasi putih tanpa lauk pauk atau bahkan roti selai saja.. itu juga salah satu kebiasaan aneh si anak kembar. Julian dan Arkan sangat suka nasi putih tanpa lauk pauk. Mereka bisa menghabiskan tiga piring nasi putih sekaligus. Apa enaknya, coba?

Morning everybody!”

Julian melirikku sekilas lalu kembali menatap ponselnya lagi, aku cemberut dengan tingkahnya. Lalu kembali tersenyum lagi ke arah ibu dan kupeluk tubuhnya yang sedikit gemuk. “Pagi ibu sayang..”

“Pagi, Ra.” Ibu terkekeh melihat aku yang di juteki oleh Julian.

“Apa enaknya, bu, makan nasi putih tanpa lauk?” suaraku sedikit meninggi. Aku tahu Julian sedang menatapku sekarang.

Ibu hanya terkekeh melirikku dan Julian bergantian, “Tanya saja sendiri sama Juli.”

“Apa enaknya?” aku mendekatkan wajahku pada wajah Julian, dekat sekali. Dan kedua mataku kukedip-kedipkan sok imut.

Julian memasang wajah datarnya, “Coba saja sendiri.” Lalu dia kembali menyendokkan sesuap nasi putih ke dalam mulutnya.

Aku mencebik dan menjauhkan wajahku. Kalau bukan berlabel sahabat, sudah ku mutilasi dia.

“Hari ini mau kemana kita?” tanyaku pada Julian yang sudah selesai sarapan. Mulutnya masih belum selesai mengunyah suapan nasi terakhir. “Jawab!”

“Sabar, Aira.” Kritik ibu.

Ah, ibu tidak tahu kalau aku sedang mengerjainya.

“Jawab, Julian Adhibta!”

Ibu hanya menggelengkan kepalanya prihatin dengan sikapku sementara Julian tetap tenang. Harus dengan apa membuatnya kesal?!!

“Kemanapun terserah kamu.” Ucap Julian akhirnya.

“Terserah aku mendingan tidur lagi.”

“Apa sih, Ra..”

Aku tersenyum menang, suara Julian memberat. Artinya dia kesal barusan.

“Tante, nasi putihnya pulen banget. Suka!” Julian tersenyum manis.

“Kalau suka nanti siang makan sini lagi aja.”

Julian mengedipkan sebelah matanya pada ibu. Aku yang melihatnya memasang muka malas, “Siap, tan.”

“Dia ibuku, jangan sok manis.”

Ibu mendelikkan matanya padaku, sedangkan Julian menarik lenganku pelan meninggalkan dapur. “Pamit, ya tante.”

“Hati-hati kalian!”

Sampai di ruang tamu aku menarik lepas tanganku dari genggaman Julian. Dia masih membuatku kesal dengan aksi anarkinya. Tanpa berdosa saja pura-pura tidak mau meminta maaf.

“Temenin aku.”

Aku diam.

“Temenin aku ke sekolah. Mau ambil surat keterangan.”

Masih diam.

Julian merangkul bahuku dan membenamkan kepalaku pada ketiaknya yang bau deodorant khas Julian. “Juli!! Lepas!” aku meronta sekuat tenaga.

“Juli minta maaf.”

“Lepas dulu!”

“Maafin dulu.”

Aku berhenti meronta dan segera mengangguk. Dan kepalaku terbebas dari ketiak Julian. Kupandangi Julian dengan mata menyipit. Kebiasaan mengeteki kepala sama sekali tidak pernah mau hilang dari Julian. Lalu dengan tiba-tiba bibirku terbuka menampilkan senyum lebar. Memperlihatkan gigiku yang putih rapih.

Selalu begitu. Aku dan Julian. Selalu kekanakan. Selalu bersama. Dalam suka dan duka. Hanya bermodal label sahabat yang kami punya, kami haram untuk saling menyakiti. Jika kami berdua marah, kami akan segera memperbaikinya. Lama tak pernah merasakan kehadiran Arkan, aku nyaman dengan Julian. Aku hanya takut, suatu saat nanti Arkan marah. Karena selama ini berlangsung aku terlalu nyaman dengan Julian dan mulai melupakan Arkan.
***



Julian – aku bersyukur telah memilikimu yang mulai menjadi duniaku.


Akhir pekan, sendiri. Sejauh mata memandang aku sama sekali tidak menemukan apa-apa. Tidak ada bunda, tidak ada ayah, tidak ada Arkan yang sok jail.

Tanganku mengusap kasar wajahku. Bangun pagi dan mendapati rumah kosong itu menyakitkan. Apalagi kosong karena ditinggal mati. Aku mendengus pelan, kasar sekali omonganku. Dengan langkah gontai aku memasuki kamar mandi yang memang berada di dalam kamarku. Segera membilas tubuh dengan cepat. Aku lelaki, tidak perlu waktu lama hanya untuk mandi. Tidak seperti Aira yang membutuhkan berjam-jam hanya untuk mandi sekalipun.

Aira.. kenapa tiba-tiba jadi Aira? Kedua ujung bibirku terangkat membentuk senyuman.
Keluar dari kamar mandi dan sudah mengganti pakaian bersih. Aku meraih ponselku yang seingatku semalam kutaruh di bawah bantal. Mengeceknya, aku mendapat 30 notif line dari gadis sebelah rumah.

Dan isinya sama sekali tidak penting.

“Kenapa juga aku bisa temenan sama dia? Iya nggak, Ar?” kataku, membayangkan jika aku mengajak ngobrol Arkan. Seperti biasanya kami mengobrolkan Aira bersama.

Aku keluar dari aplikasi line dan pada home screen terpasang foto wallpaper tiga remaja yang saling berangkulan. Ada Arkan, “Seandainya kamu masih hidup, Aira tumbuh jadi gadis yang cantik, Ar.”

“Menurut waktu, kamu lebih dulu keluar dari rahim bunda dibanding aku. Tapi menurut bunda, aku kakak kamu. Kamu harus bangga padaku kalau aku sampai berhasil jaga Aira.”

Senyumku mengembang. Selalu seperti ini setiap pagi. Mengajak ngobrol Arkan melalui foto. Hanya itu yang bisa mengurangi rasa bersalahku pada Arkan selama ini. dengan mengajaknya mengobrol tentang Aira. Cinta pertamanya.
***


Sebelah tanganku memegang secangkir kopi dan tangan lainnya bebas menarik gorden jendela, mengintip ke arah rumah sebelah. Masih terlihat sepi. Dasar kebo.

Ini sudah lebih dari seminggu gadis cantik itu sibuk dengan dunianya sendiri. Melupakan keadaan sekitar. Melupakanku. Sebenarnya tidak ada hak sama sekali untuk aku menyesalinya, Aira tidak bersalah sama sekali. Tujuh hari yang lalu saat kami pergi bersama, entah pikiran dari mana aku sampai bisa menyuruh Aira untuk mengikuti TOEFL. Jadilah seperti sekarang, begitu diiyakan, Aira dengan semangat menyelesaikan TOEFL-nya dan melupakanku.

Kemampuan Bahasa Inggrisnya bagus. Malah bisa dikatakan sempurna, Aira hanya gila untuk diakui bisa ber-Bahasa Inggris. Bukan sekedar dari mulut, dia butuh selembar sertifikat yang menyertakan namanya dan kejelasan lulus TOEFL. Gila memang..

Aku menarik kursi ke bagian samping jendela kamarku yang menghadap langsung ke jendela kamar Aira. Duduk di sana, memperhatikan jendela berbentuk persegi itu dengan secangkir kopi yang megepul panas. Spot ini paling sering kulakukan, hampir setiap hari setelah kepergian Arkan.

Kembali aku membuka aplikasi line dari ponselku. Membaca kembali pesan tidak penting yang dikirim Aira semalam. Sama sekali tidak penting,


Air_a
Tues, 23.17

Jul!! Air pam mati.
Mau mandi
Jul!!
Dah bobo ya?
Ijul!!
Gajadi mandi ;D uda malem
Mo bobo cantik
Ijul ihh ngeselin ;(

Tues, 23.47
Jul.. ijul sayang. Bangun.
Uda pagi
Kita main yuk!
Petak umpet
Kapan pagi ;(
Kangen ijul
Julian!!! Sayang aku ga?
Sayang dong.. sama aku juga
Bhay


Kepalaku otomatis menggeleng-geleng sendiri. Heran dengan tingkah Aira yang semakin hari semakin konyol setelah kepergian Arkan.
Dulu dia tidak seperti ini. 

Aira dulu pendiam dan anggun. Sekarang, sudah pecicilan, songong, alay, lebay, jadi satu. She change too much.

***


2.

Pendaftaran ulang dan hal lain sebaginya sudah terselesaikan dua bulan yang lalu. Hari ini, adalah hari pertama masa ospek di perguruan tinggi mereka lewati bersama, Julian dan Aira. Masuk ke Fakultas Teknik dan mengambil jurusan Arsitektur membuat Julian terpisah dengan Aira.

Gadis manis itu sendirian sekarang. Menunggu dengan pasti untuk di kumpulkan kembali ke dalam barisan ospek oleh kakak tingkat. Panas dan kesepian. Alisnya tidak pernah lelah untuk mengkerut menahan keringat yang meleleh dari keningnya.

Ospek berjalan lancar. Tidak ada siksaan atau bahkan bully-an seperti yang banyak di bicarakan orang. Tepat jam 12 siang. Barisan Aira diperbolehkan untuk bubar. Meskipun satu perguruan tinggi, Aira menyesali prodi pilihannya karena membuat dirinya jauh dengan Julian. Tidak adil.

“Hei, mau minum?”

Tidak ada jawaban sama sekali. Aira hanya menoleh. Mulutnya masih terkunci rapat. Dia merasa haram untuk berbicara dengan lelaki lain yang baru di kenalnya disini bila tidak diperlukan, kecuali Julian.

“Bisa dehidrasi. Keringat lo, lihat itu!” lelaki sok kenal itu menunjuk ke arah kening Aira.

Aira melirik sekilas pada apa yang dibawa lelaki di sampingnya. Lumayan, minuman isotonic. Jadi haus, tapi prinsipnya masih belum goyah sama sekali.

Lelaki itu menaruh botol minumannya di samping tempat Aira duduk. Dia hanya nyengir kuda saja dengan sebelah tangannya yang menggaruk belakang kepalanya sendiri. Aira yakin, kepala lelaki itu sama sekali tidak gatal.

“Gue Rama, kalau mau bilang makasih bisa temui gue di pojokan sana!”

Lelaki bernama Rama itu melambaikan tangannya setelah mengatakan itu. Lalu pergi tanpa menunggu jawaban dari Aira. Modus.. Sedikit merasa bersalah karena mendustai prinsipnya sendiri, Aira mengambil botol minuman tadi dan meminumnya. Lega rasanya. Kalau Julian melihat ini, dia pasti sudah ngomel-ngomel. Julian anti dengan melanggar prinsip sendiri.

Aira berjalan ke arah pojokan tempat Rama duduk dengan teman-temannya. Sama sepertinya, Rama juga memegang sebotol minuman isotonic. “Rama? Makasih..,” Aira menggoyang-goyangkan botol minuman di tangannya. Rama sendiri sudah tersenyum senang, mungkin ada niatan untuk mendekati Aira dari modus memberikan minuman tadi.

Aira sendiri sudah tahu modus-modus semacam itu. Dia sama sekali tidak tergoda.

“Nama?”

Aira bungkam, modus Rama semakin menjadi-jadi. “Juli.”

Batinnya sedikit terkikik. Diam-diam memohon ampun pada Tuhan dan Julian. Dia sudah memalsukan nama sendiri dan membohongi orang lain. Aira menepisnya, dia berpikir Julian juga tidak akan pernah tahu soal ini. mereka beda jurusan, apalagi fakultas.

“Lahir bulan Juli?” senyum Rama mengembang lebar, membuat rongga dada Aira sempit. Aira diam seketika. Dia ingat dengan senyum Arkan. Tuhan menciptakan duplikat pada senyum Arkan untuk Rama. Fakta yang membuatnya merindu setengah mati. Aira menggeleng sebagai jawabannya. Dia ingin pergi sebelum senyum itu membiusnya untuk ingin lebih lanjut mengenal Rama. Rama bukan Arkan. Sama seperti Julian bukan Arkan meskipun mereka kembar identik.
***


Komentar